Monday, July 28, 2008

Begitu... ya...

Kiranya tak ada lagi yang bisa kutulis. hemmm... ternyata terjadi pengalihan, seolah-olah ada pemindai dalam kepala ini. memang kita punya pemindai itu, yaitu saraf sensorik. dan catatan-catatan itu kembali memenuhi ruang kosong, yang cukup sunyi. namun masih se-kering yang terlihat.

tak ada sedikit kejutan ataupun applaus untuk itu. mungkin belum penting juga, suatu hari pasti ada, suatu hari. aku akan menulis lebih banyak dan lebih enak untuk di nikmati. beberapa tulisan yang ini cukup menggugah diriku untuk kembali ke pesona bait-bait puisi dan larik-larik cerpen.

namun masih juga belum banyak yang ku ungkapkan. sebaik sunyi, sebait kerinduan se paragraph cara untuk mengolah kata, kalimat dan paragraph-paragraph yang menjadi terasa hidup dan ada.

Thursday, July 24, 2008

Penggalan kisah lama

Aku mulai lagi. Tak ada yang tahu, risau berkecamuk dalam pikiran. Mitos itu berlanjut, dan aku semakin tak berdaya menahan yang menghimpit. Waktu-demi waktu tak bisa ku hadirkan keceriaan, hanya senyum dan tawa kosong tanpa maksud. Hari-hari semakin carut-marut. Benar katanya, bahwa dia tak bisa kulupakan dalam suka ceriaku apalagi dalam kesendirian dan hampa yang semakin menusuk dan menyesakkan.

Ini luka, tapi siapa yang melukaiku? Aku atau dia? Pertanyaan yang tak pernah habis dan tak ingin ada pengakuan bahwa aku yang salah atau dia yang salah. Terlalu dalam aku menancapkan paku itu, hingga susah kucabut dan jika mencabutnya hanya akan merusak bagian lain. Atau biarkan saja sampai lapuk dan teronggok rapuh?

Di hari yang kemilau aku coba untuk tersenyum dan tersenyum, menghibur resah diri yang tak pernah tahu kenapa? Dan kini aku tak tahu kepada siapakah aku akan mencabutkan paku ini. Kosong, sakit, tak berdaya, telah merenggut begitu banyak ruang dan waktuku, kebebasan yang ada hanya semu. Sebuah cermin yang tak pernah tertelungkup untuk menutupi aib sendiri yang malu pada siapa yang bercermin.

Aku sebenarnya tak ingin berkisah. Ini tentang karma, mungkin. Dan ini ada. Aku berlanjut, aku berjalan, aku bertindak. Semua seperti biasa, biasa saja tak ada yang aneh dan janggal. Meskipun ini biasa bagiku tapi menjadi aneh setelah sekian waktu berjalan. Semua tak kumengerti karena aku yang merasakan ke janggalan itu, hanya aku.

Kisah ini kupenggal. Tak perlu ku awali dari perkenalan…

Sekitar lebih dari tiga setengah tahun lalu, aku meninggalkan kenangan itu, berjalan sendiri menyusuri lorong-lorong kenaifan. Aku sendiri, bersama teman yang tak mengerti, aku hanya berceloteh sendiri tentang kenangan. Namun itu hanya celoteh, tak ada yang mau mendengarkan dengan seksama dan juga aku tak ingin mendengarkan komentar yang kupikir tak perlu bagiku waktu itu. Aku hanya ingin mendengarkan kata hatiku sendiri. Kata hati… ya kata hati, sekian lama perjalanan yang tiba-tiba menjadi naïf dan egois menyusupkan aku pada kehidupan-kehidupan individual yang komunal. Bekerja bersama-sama untuk diri sendiri. Aku sulit mendefinisikan ini. Keadaan yang menurutku sangat absurd.

Aku mencintainya…. Itu, sesekali aku teringat padanya, tapi kenapa aku selalu membiasakan diri untuk membencinya? Mengingatnya untuk melupakannya. Selalu begitu. Sampai aku terlena oleh waktu yang beringsut menjauh, pasti dan nyata. Meskipun ingatanku tak bisa bersih darinya, aku telah abai, mengabaikannya sebagai hantu yang tak perlu, sebagai kecambah parasit yang tak perlu disingkirkan dan akan hilang di terpa angin. Hantu itu tak muncul lagi.

Aku mengalihkan pikiranku begitu jauh meskipun kenangan-kenangan itu selalu ada di sekitarku. Aku selalu merasa menjadi terbiasa menepikannya, dan setiap kali sepi aku teringat dan kubersihkan kenangan itu seperti perabotan-perabotan yang berdebu, kusapu dank u usap. Seperti benda-benda yang lain, itu hanya sebuah hiasan, dan seperti emosi-emosi yang menjadi bahan tertawaan dan cemoohan. Aku telah mampu meng abaikannya. Puspa kecil.

Kujauhkan wajahnya dari wajahku, kujauhkan nafasnya dari desahan angin yang selalu menyertai perjalananku, supaya tak membuat aku lelah dan jengah. Biarkan aku bebas bersama angin yang lepas dari alam.

Waktu itu aku ingin menaruh perasaanku pada yang lain sebut saja Teratai ungu, di lawu, tapi kenapa tiba-tiba kamu membayangiku dengan kenangan paling indah yang selalu membuat aku terlena dan kamu tidak memberiku ijin, Puspa. Bahkan sepotong gunung tak mengijinkan aku berkata-kata untuk menyentuh yang lain dan mengungkapkan rasa itu.

Kepada yang lain…

Akhirnya kutulis dalam sebuah cerita pendek, aku hanya menulis dan menulis. Aku tidak tahu kemudian kata-kata yang tak tersampaikan itu tertulis dalam baris-baris kisah fiktif, aku tidak mengerti lagi, tapi itulah emosi. Aku berderai kata-kata dalam kertas, kuubah setiap jelaga kenangan dengan impian. Sampai pada suatu hari aku sudah tak mengingatnya lagi. Tiba-tiba impian itu muncul dalam sebuah telpongenggam, aku meneleponnya, dia bilang telah tahu cerita ku dan ada yang menceritakannya tentang keinginanku yang telah usang dan belum usai itu.

Dia tahu maksudku, tapi begitu sulit aku untuk menemuinya. Aku tak bisa menemuinya sampai hari ini, hanya saja kemudian ada sms datang dari jauh setelah sekian lama terabaikan juga, entah kenapa kemudian dia berkata bahwa telah membaca cerita pendekku dan membawanya ke pulau seberang katanya untuk kenangan. Kini aku tak bisa menggapainya, teratai unguku.

Aku meloncat….

Kenangan masalaluku, membawaku pada penantian kosong dan kegamangan memilih. Aku sepertinya sudah tidak layak lagi untuk memilih. Jengah. Teratai ungu muncul dalam derai tawa yang masih kukenang. Kuingat rambutnya yang tebal dan wajahnya yang keras, tulang rahang yang kuat dan kulit yang lebih gelap. Aku merambati kisah baru.

Tuesday, May 27, 2008

Luka, Cinta dan Penantian

Sia-sia sudah. 4 tahun kamu mencariku, hanya luka yang kamu dapat, dan sakitku terkuak kembali. Kita mungkin bisa bersama lagi, namun waktu yang tak mungkin di kejar terus menghanyutkan segala hasrat, mengalirkannya ke lautan kegundahan dan keraguan.

Kamu tak bisa melupakanku, sampai matipun kamu tak bisa menghilangkannya, katamu. Tapi kamu sudah memilihnya sebagai jalanmu, sebagai ujung dari penantianmu sendiri. Aku yang kini kau sambangi setiap hari hanya menurunkan bendera merah menjadi putih, aku berduka dan sakit yang terus menggerus rasa, mematikan begitu banyak semangat, menurunkan kadar darahku, aku memucat.

Kering hari-hariku yang tak mampu menolakmu, aku tak bisa sekejam yang orang-orang masukan dalam pikiranku, aku harus mencari penggantimu, namun hari demi hari kamu menghantui. Semua rasa serasa surut dan pasang tanpa terkendali. Aku bisa mengerti kamu, tapi kamu sepertinya tak mau mengerti aku.

Setiap jengkal tanah yang kupijak bergetar merontokkan keinginan yang selama ini ada dalam ingatan, aku menyambangimu dalam mimpi-mimpimu. Seperti dulu. Setiap kamu bercerita tentang kenangan masalalu, aku hanya bisa tersenyum sambil menelan ludah pahit. Asam lambungku berjingkrak naik.

Aku bohongi diriku sekian waktu, sekian kali kita bertemu. Namun itu adanya. Tak bisa ku elakan. Aku ingin mengalihkan semua dengan tawa dan senyum lain selain senyummu.

Aku mainkan gitar, seperti ketika aku memelukmu dalam setiap renungan dan penantian tanpa ujung. Kumainkan dawai-dawai kecil itu, ku renggut setiap nafasku untuk mu. Kuceritakan tentang semua itu dalam syair dan lagu, namun kamu tak pernah mau mengerti, yang ada adalah muram wajahmu, melipat wajah sengan mata berkaca-kaca, aku mengerti namun aku tak bisa menarikmu lagi dalam hatiku.

Terlalu perih bagiku, sakit ini tak mungkin terbunuh. Sepi ini selalu menghantui, aku menertawaimu hanya untuk menghibur diri, yang sebenarnya adalah sakitku sendiri. Kamu mencariku... ya... kamu mencariku selama itu, selama 4 tahun, ketika hantuku muncul dalam mimpi-mimpimu. Dan kamu berharap untuk bertemu dan bersama lagi.

Kau hancurkan harapanku, kau hancurkan semua mitos itu, "bila bertemu lagi berarti jodoh" namun. sekali lagi kamu menghancurkan aku dan harapanku. Hidupku yang hanya kepingan menjadi lebur. tenggelam dalam lautan gelap. aku hanya sebuah mimpi, dan kamu hanya sebuah kenangan.

Biarkan aku membusuk, biarkan aku membawa sakitku dalam setiap perjalanan dan selama nadi masih berdenyut. Tak bisakah kau pergi? pergilah! aku relakan, tapi aku tak rela kamu sakit.

Monday, March 3, 2008

Pindah lagi

Baru dua bulan aku menghuni kamar lembab itu. begitu selalu, setiap aku pulang dari kerja langsung tertidur, waktu tak pernah habis dan tak pernah berubah. hari ini aku memindahkan barang-barangku ke tempat yang baru, lebih terang dan tidak lembab. namun tetap saja terdengar suara kereta mendera setiap lelapku, aku tak peduli. hari demi hari terbayang dengan tidur di lantai 2 bersama kereta yang selalu berujar untuk terjaga saat mereka melintas.

Aku pindahan lagi. seperti berlari di kejar harimau, hari-hari yang serba terburu-buru, memburu. mengejar dan dikejar. tak pernah hari-hariku dalam damai. mencari begitu banyak suap nasi, untuk tiga kali dalam sehari sesuai anjuran dokter ternyata berat. itulah kenyataan hidup. kenyataan yang harus dihadapi, dan harus dikritik oleh diri sendiri maupun orang lain.

Berbenah lagi. hitungan demi hitungan menunggu, menanti waktu yang semakin lama semakin mengakar, menjalar dan akan habis entah kapan, mungkin ketika kita mati. ketika kita tidak lagi membawa tubuh kasar kita menuju ke yang transenden, menuju ke keabadian.

Berbenah untuk mencari sesuatu yang lebih baik, yang lebih pantas, dan luwes bagi diri sendiri maupun orang lain. semoga tidak menjadi penyesalan hidup, menjadi lemah dalam menjalani hidup, patang arang, patah semangat.

Lahir untuk menangis, menangis untuk bergetar, bergetar untuk menggeliat, menggeliat untuk membalik tubuh, membalik tubuh untuk merangkak, merangkak untuk berjalan, berjalan untuk bekerja, bekerja untuk hidup, hidup untuk mati. mati untuk membantu yang hidup lebih hidup, mati untuk yang abadi, mati untuk meninggalkan duniawi.

Saturday, February 16, 2008

Itu pilihanmu

Salahku juga terlalu lama aku meniggalkanmu. hari demi hari hanya teringat tanpa pernah menyentuh, mungkin keraguannya menjadikan sebuah kepastian untuk pergi. ya... pergilah selagi kau mampu, aku tidak berharap banyak. kamu punya pilihanmu sendiri. kamu adalah kamu, setialah pada pilihanmu. berhari-hari aku melamun. semakin ditekan semakin sakit saja. ahhh.... tidak. semua terasa ringan karena hampa. hari-hariku menjadi kelam, berkabut, berjelaga terasa setiap sudut kamar perasaan ini. relung hati, relung jiwa meronta, namun kamu tak kunjung berhenti menghantui.

Aku juga punya pilihan, meskipun tidak sebaik kamu. setiap pilihan ada aralnya, ada jalannya. kehidupan ini adalah sekarang dan nanti, namun entah... apa yang akan terjadi esok. bukan kemauanku atau karena kemauanku, itu hanya ada pada keterjagaanku, apakah aku dalam keadaan sadar? atau aku dalam keadaan mati rasa? ohhh... jagat dewa batara, Tuhan semesta alam. dewa-dewi, kupujakan nubuat untukmu, setiap kitab kubuka dan firmanmu selalu benar. hanya aku yang bodoh ini tersesat dalam kenistaan, kepapaan yang tiada henti mendera.

Hemmm... pilihanku akan kuambil, risiko apapun kujelang, aku berdiri disini dan siap melangkah. aku siap. benar2 siap. tapi.... aku lemah lagi... aku didera keraguan akan pilihan-pilihan itu lagi. ehm... semua pilihan sama beratnya, risiko selalu ada, selalu terentang di depan. tapi sudahlah, hari sudah senja baiknya aku pulang saja. pikirkan lagi nanti.

Saturday, February 9, 2008

Bahasa bukanlah klaim dari suku atau ras tertentu

Masalah bahasa bukan masalah klaim dari suku tertentu ataupun ras tertentu, melainkan bahasa adalah bagian dari budaya setiap ceruk kehidupan dan lubuk-lubuk kecil komunitas manusia. Bahasa adalah proses dari perjalanan logika manusia. Bahasa punya masyarakat pendukungnya, jika itu tidak ada maka bahasa akan punah. Siapa pendukung bahasa itu? Para pendukung bahasa bukanlah ahli sastra dan ahli bahasa tetapi masyarakat dan kebudayaan, dimana bahasa itu berada. Justru yang kuat mendukung keberadaan bahasa adalah dukun-dukun mistik, karena dukun mistik berbahasa tidak hanya dengan akustiknya saja tetapi juga dengan konteksnya.
Hampir semua bahasa dukun dan paramormal hanya sebuah logo, lambang, atau simbol. Ini yang di dekonstruksi oleh Derrida, kenapa filsafat selama ini hanya menghasilkan simbol dan logo? Derrida mencoba menjelaskan konteks-konteks simbol dengan bahasa, jadi sebenarnya derrida belajar menjadi dukun. Namun akhirnya Derrida pun menjadi sebuah pertanyaan baru bagi para ahli filsafat bahasa.
Hanya pola pikir ilmuwan tidak menyentuh sampai dimana para dukun pendukung bahasa itu melakukan praktek perdukunannya? Konteksnya apa? Sebenarnya jelas, setiap dukun meminta penjelasan mengenai masalah yang ingin diselesaikan oleh si pasien. Namun tentu saja tidak semua dukun bisa. Banyak pula dukun hanya menghafal do’a, mantra dan jampi-jampi. Dukun jarang belajar tentang konteks, yang kemudian mereka tidak mengerti makna yang sebenarnya dari praktek perdukunannya. Seperti para pendakwah yang hanya bisa mengutip kalimat-kalimat dalam kitab, namun tidak pernah menafsirkannya secara kontekstual.
Kemudian yang terjadi adalah ‘nihilis’ para pendengarnya. Bahwa setiap masalah bisa selesai dengan do’a, ‘Sekeptis’ berpikir bahwa kehidupan terjadi secara kebetulan. Dari kebetulan-kebetulan itulah jaring-jaring kehidupan merentang. Padahal Capra sudah menjelaskan mendetail tentang hal ini bahwa semua bisa dijelaskan secara ilmiah. Hanya saja banyak orang yang malas dan tidak mau menyadari. Kalau memang tidak mampu cobalah untuk mengerti diri, untuk mengatakan tidak mampu belajar terlalu banyak dan lebih mendalam. Simpan saja pertanyaan-pertanyaan filosofi itu atau sampaikan pada ahlinya supaya dipecahkan.
“Bahasa jawa ke bahasa Indonesia
Menurutku berbahasa adalah kenyamanan berucap, fonetik/akustiknya, bukan simbol yang tertera/letter. Kita bisa melihat dari bahasa-bahasa yang memiliki huruf/simbol/letter sendiri. Aku melihat sendiri dalam konteks bahasa arab, jawa dan jepang dan mungkin juga bahasa lain di dunia ini, bahwa huruf /letter/simbol selalu mengikuti pengucapan-rasa-ide, kebalikan dari teori fisika tentang halilintar yang menyebut bahwa suara akan datang setelah warna/cahaya.
Bagi bahasa yang memiliki huruf sendiri, akan selalu membuat perangkat huruf baru bagi kata-kata serapan, perangkat-perangkat ini muncul setelah ada pengucapan yang baru disesuaikan dengan langue setempat dari bahasa lain di luar komunitas pendukung bahasa aslinya.
Persebaran bahasa tidak akan lepas dari metode para pendakwah atau dukun, yaitu dengan kata-kata yang diulang hingga menimbulkan sugesti bagi para pendengarnya, kalaupun tidak terjadi sugesti yang kemudian trance, kata yang telah di ulang-ulang ini menjadi lekat dalam kepala dan seolah nyaman berada di sana.
Pengaruh kekuasaan atas tersebarnya bahasa yang seragam
Kita bisa melihat banyak contoh, semisal bahasa jawa yang mendominasi bahasa Indonesia, bahasa belanda yang pernah di hapal oleh orang-orang di jaman penjajahan di Indonesia, bahasa-bahasa eropa yang menyebar di afrika dan amerika, huruf Han-je (kanji) di china setelah Dinasti Han. Persebaran bahasa tidak jauh-jauh dengan sejarah kekuasaan, di jawa sendiri kerajaan jawa masih eksis, meskipun secara budaya mungkin tinggal sebagai simbol, namun masih memiliki pendukung yang tidak sedikit. Kemudian bahasa belanda di Indonesia berangsur-angsur surut begitupula dengan bahasa rusia yang dimiliki oleh angkatan-angkatan laut generasi tua di Indonesia, karena kapal selam buatan rusia telah tenggelam.
Bahasa adalah simbol peradaban, kemajuannya adalah nilai tambah tersendiri.

Tuesday, February 5, 2008

Bermalam di depan mata dunia

Inilah..... hari yang kesekian kali aku berada di depan mata dunia. Dunia internet, hampir tiap hari aku bermalam demi sebuah pekerjaan, benarkah sebuah pekerjaan? atau hanya sekedar hiburan? keduanya mungkin lebih tepat untuk menyebut waktu-waktu yang telah habis di telan gelap dan terangnya dunia. Aku sudah tidak tahu lagi apa sebenarnya yang aku mau-i, tapi ya beginilah. Kehidupan tidak selalu harus ditebak-tebak, apakah masa depan sekarang atau nanti. sama saja. tidak ada masa depan jika kita tidak ingat masa lalu, itu pasti, kapan kita bicara tentang masa lalu berarti kita berada di masa depan. 

Tidak usah bimbang, masa depan sekarang atau nanti. Itu bukan solusi dari kebingungan eksistensi diri. Sebagai orang ya jadilah orang. Bedakan dengan yang bukan orang. Buat ciri itu pasti, gak usah ngikut apa yang sedang berjalan kalo memang tidak bisa mengikutinya. Kita mungkin bisa menjadi air, tapi apakah benar air itu mengalir? atau ternyata kita mengalir tapi bukan air, hanya buih, yang merasa menjadi air, atau racun yang mencoba menyelinap ke dalam pori-pori 'oksida hidrogen' berkontaminasi, berkelindan menjadi satu tubuh, yang kemudian melumpuhkan? 

Eksistensi? mungkin malam dan siang yang terlewat telah menjadi cermin bagi yang lain atau diri sendiri. Tapi sampai dimana kejelian itu mampu mengasah ingatan dan mengasuh raga untuk melakukan sesuatu yang lebih dari yang di lakukan orang lain atau yang di lakukan diri sendiri di masa lalu? kejelian, ketelitian meniti setiap waktu yang berlalu adalah kehidupan, itu lah hidup. Belajar memahami struktur pemikiran diri sendiri. Mencoba menggapai eksistensi yang mandiri yang adimanusia? hemmmm... sepertinya banyak orang ingin jadi superman/adimanusia tapi..... terjebak dalam penatnya pengetahuan, penatnya hidup yang berkelindan dengan parasit yang melumpuhkan. 

Tak ada pemecahan? absurd? ya... itulah... ketika kita dalam absurditas, kita berada dalam titik nol. Kita ada dalam pengakuan akan ketidakmampuan diri untuk mengontrol pikiran, dengan ide-ide kita. apa yang ingin dicipta, tidak sama dengan yang di rasa dan jauh dengan apa yang tersirat dalam pikiran. 

Aduh..... gludak... gludak.... pikiranku mulai kacau.... mari tidur, mari tidur pagi.... dan pulang sore.