Saturday, February 16, 2008

Itu pilihanmu

Salahku juga terlalu lama aku meniggalkanmu. hari demi hari hanya teringat tanpa pernah menyentuh, mungkin keraguannya menjadikan sebuah kepastian untuk pergi. ya... pergilah selagi kau mampu, aku tidak berharap banyak. kamu punya pilihanmu sendiri. kamu adalah kamu, setialah pada pilihanmu. berhari-hari aku melamun. semakin ditekan semakin sakit saja. ahhh.... tidak. semua terasa ringan karena hampa. hari-hariku menjadi kelam, berkabut, berjelaga terasa setiap sudut kamar perasaan ini. relung hati, relung jiwa meronta, namun kamu tak kunjung berhenti menghantui.

Aku juga punya pilihan, meskipun tidak sebaik kamu. setiap pilihan ada aralnya, ada jalannya. kehidupan ini adalah sekarang dan nanti, namun entah... apa yang akan terjadi esok. bukan kemauanku atau karena kemauanku, itu hanya ada pada keterjagaanku, apakah aku dalam keadaan sadar? atau aku dalam keadaan mati rasa? ohhh... jagat dewa batara, Tuhan semesta alam. dewa-dewi, kupujakan nubuat untukmu, setiap kitab kubuka dan firmanmu selalu benar. hanya aku yang bodoh ini tersesat dalam kenistaan, kepapaan yang tiada henti mendera.

Hemmm... pilihanku akan kuambil, risiko apapun kujelang, aku berdiri disini dan siap melangkah. aku siap. benar2 siap. tapi.... aku lemah lagi... aku didera keraguan akan pilihan-pilihan itu lagi. ehm... semua pilihan sama beratnya, risiko selalu ada, selalu terentang di depan. tapi sudahlah, hari sudah senja baiknya aku pulang saja. pikirkan lagi nanti.

Saturday, February 9, 2008

Bahasa bukanlah klaim dari suku atau ras tertentu

Masalah bahasa bukan masalah klaim dari suku tertentu ataupun ras tertentu, melainkan bahasa adalah bagian dari budaya setiap ceruk kehidupan dan lubuk-lubuk kecil komunitas manusia. Bahasa adalah proses dari perjalanan logika manusia. Bahasa punya masyarakat pendukungnya, jika itu tidak ada maka bahasa akan punah. Siapa pendukung bahasa itu? Para pendukung bahasa bukanlah ahli sastra dan ahli bahasa tetapi masyarakat dan kebudayaan, dimana bahasa itu berada. Justru yang kuat mendukung keberadaan bahasa adalah dukun-dukun mistik, karena dukun mistik berbahasa tidak hanya dengan akustiknya saja tetapi juga dengan konteksnya.
Hampir semua bahasa dukun dan paramormal hanya sebuah logo, lambang, atau simbol. Ini yang di dekonstruksi oleh Derrida, kenapa filsafat selama ini hanya menghasilkan simbol dan logo? Derrida mencoba menjelaskan konteks-konteks simbol dengan bahasa, jadi sebenarnya derrida belajar menjadi dukun. Namun akhirnya Derrida pun menjadi sebuah pertanyaan baru bagi para ahli filsafat bahasa.
Hanya pola pikir ilmuwan tidak menyentuh sampai dimana para dukun pendukung bahasa itu melakukan praktek perdukunannya? Konteksnya apa? Sebenarnya jelas, setiap dukun meminta penjelasan mengenai masalah yang ingin diselesaikan oleh si pasien. Namun tentu saja tidak semua dukun bisa. Banyak pula dukun hanya menghafal do’a, mantra dan jampi-jampi. Dukun jarang belajar tentang konteks, yang kemudian mereka tidak mengerti makna yang sebenarnya dari praktek perdukunannya. Seperti para pendakwah yang hanya bisa mengutip kalimat-kalimat dalam kitab, namun tidak pernah menafsirkannya secara kontekstual.
Kemudian yang terjadi adalah ‘nihilis’ para pendengarnya. Bahwa setiap masalah bisa selesai dengan do’a, ‘Sekeptis’ berpikir bahwa kehidupan terjadi secara kebetulan. Dari kebetulan-kebetulan itulah jaring-jaring kehidupan merentang. Padahal Capra sudah menjelaskan mendetail tentang hal ini bahwa semua bisa dijelaskan secara ilmiah. Hanya saja banyak orang yang malas dan tidak mau menyadari. Kalau memang tidak mampu cobalah untuk mengerti diri, untuk mengatakan tidak mampu belajar terlalu banyak dan lebih mendalam. Simpan saja pertanyaan-pertanyaan filosofi itu atau sampaikan pada ahlinya supaya dipecahkan.
“Bahasa jawa ke bahasa Indonesia
Menurutku berbahasa adalah kenyamanan berucap, fonetik/akustiknya, bukan simbol yang tertera/letter. Kita bisa melihat dari bahasa-bahasa yang memiliki huruf/simbol/letter sendiri. Aku melihat sendiri dalam konteks bahasa arab, jawa dan jepang dan mungkin juga bahasa lain di dunia ini, bahwa huruf /letter/simbol selalu mengikuti pengucapan-rasa-ide, kebalikan dari teori fisika tentang halilintar yang menyebut bahwa suara akan datang setelah warna/cahaya.
Bagi bahasa yang memiliki huruf sendiri, akan selalu membuat perangkat huruf baru bagi kata-kata serapan, perangkat-perangkat ini muncul setelah ada pengucapan yang baru disesuaikan dengan langue setempat dari bahasa lain di luar komunitas pendukung bahasa aslinya.
Persebaran bahasa tidak akan lepas dari metode para pendakwah atau dukun, yaitu dengan kata-kata yang diulang hingga menimbulkan sugesti bagi para pendengarnya, kalaupun tidak terjadi sugesti yang kemudian trance, kata yang telah di ulang-ulang ini menjadi lekat dalam kepala dan seolah nyaman berada di sana.
Pengaruh kekuasaan atas tersebarnya bahasa yang seragam
Kita bisa melihat banyak contoh, semisal bahasa jawa yang mendominasi bahasa Indonesia, bahasa belanda yang pernah di hapal oleh orang-orang di jaman penjajahan di Indonesia, bahasa-bahasa eropa yang menyebar di afrika dan amerika, huruf Han-je (kanji) di china setelah Dinasti Han. Persebaran bahasa tidak jauh-jauh dengan sejarah kekuasaan, di jawa sendiri kerajaan jawa masih eksis, meskipun secara budaya mungkin tinggal sebagai simbol, namun masih memiliki pendukung yang tidak sedikit. Kemudian bahasa belanda di Indonesia berangsur-angsur surut begitupula dengan bahasa rusia yang dimiliki oleh angkatan-angkatan laut generasi tua di Indonesia, karena kapal selam buatan rusia telah tenggelam.
Bahasa adalah simbol peradaban, kemajuannya adalah nilai tambah tersendiri.

Tuesday, February 5, 2008

Bermalam di depan mata dunia

Inilah..... hari yang kesekian kali aku berada di depan mata dunia. Dunia internet, hampir tiap hari aku bermalam demi sebuah pekerjaan, benarkah sebuah pekerjaan? atau hanya sekedar hiburan? keduanya mungkin lebih tepat untuk menyebut waktu-waktu yang telah habis di telan gelap dan terangnya dunia. Aku sudah tidak tahu lagi apa sebenarnya yang aku mau-i, tapi ya beginilah. Kehidupan tidak selalu harus ditebak-tebak, apakah masa depan sekarang atau nanti. sama saja. tidak ada masa depan jika kita tidak ingat masa lalu, itu pasti, kapan kita bicara tentang masa lalu berarti kita berada di masa depan. 

Tidak usah bimbang, masa depan sekarang atau nanti. Itu bukan solusi dari kebingungan eksistensi diri. Sebagai orang ya jadilah orang. Bedakan dengan yang bukan orang. Buat ciri itu pasti, gak usah ngikut apa yang sedang berjalan kalo memang tidak bisa mengikutinya. Kita mungkin bisa menjadi air, tapi apakah benar air itu mengalir? atau ternyata kita mengalir tapi bukan air, hanya buih, yang merasa menjadi air, atau racun yang mencoba menyelinap ke dalam pori-pori 'oksida hidrogen' berkontaminasi, berkelindan menjadi satu tubuh, yang kemudian melumpuhkan? 

Eksistensi? mungkin malam dan siang yang terlewat telah menjadi cermin bagi yang lain atau diri sendiri. Tapi sampai dimana kejelian itu mampu mengasah ingatan dan mengasuh raga untuk melakukan sesuatu yang lebih dari yang di lakukan orang lain atau yang di lakukan diri sendiri di masa lalu? kejelian, ketelitian meniti setiap waktu yang berlalu adalah kehidupan, itu lah hidup. Belajar memahami struktur pemikiran diri sendiri. Mencoba menggapai eksistensi yang mandiri yang adimanusia? hemmmm... sepertinya banyak orang ingin jadi superman/adimanusia tapi..... terjebak dalam penatnya pengetahuan, penatnya hidup yang berkelindan dengan parasit yang melumpuhkan. 

Tak ada pemecahan? absurd? ya... itulah... ketika kita dalam absurditas, kita berada dalam titik nol. Kita ada dalam pengakuan akan ketidakmampuan diri untuk mengontrol pikiran, dengan ide-ide kita. apa yang ingin dicipta, tidak sama dengan yang di rasa dan jauh dengan apa yang tersirat dalam pikiran. 

Aduh..... gludak... gludak.... pikiranku mulai kacau.... mari tidur, mari tidur pagi.... dan pulang sore.